CELAKA bangsa yang membutuhkan pahlawan, ujar Galileo Galilei kepada Andrea, muridnya. Sang guru perlu menyampaikan hal itu sesaat setelah Andrea mengatakan, “Celaka bangsa yang tidak mempunyai pahlawan.
Dialog murid dan guru sebagaimana dikisahkan penulis drama Berthold Brecht mengingatkan betapa sosok pahlawan sebenarnya ada dalam definisi yang bias dan mengundang polemik. Ketika Andrea mengatakan, “Unhappy the land does no a hero”, sepertinya mempertegas bahwa setiap negeri harus mempunyai pahlawan. Harus mempunyai orang-orang hebat berwatak pahlawan guna membebaskan negerinya dari kebodohan, terlebih bagi bangsa yang dijajah oleh bangsa lain. Maka pahlawan menjadi penting sebagai pembebas sekaligus sosok yang menggerakkan perlawanan.
Namun bagaimana halnya jika sebuah negeri tidak dalam kondisi terjajah oleh siapa pun? Perlukah sosok pahlawan? Pertanyaan berikutnya, adakah negeri yang benar-benar terbebas dari penjajahan? Lantas masih perlukah pahlawan pada setiap zaman, pada setiap negeri, dan pada setiap aktivitas manusia?
Ada pun ungkapan Galileo Galilei bahwa sebenarnya bangsa yang butuh pahlawan adalah bangsa yang patut dikasihani, bangsa yang celaka –hal ini menunjukkan betapa di negeri tersebut pahlawan merupakan barang langka. Negeri itu dihuni oleh banyak begundal dan berandal yang membawa negeri ke arah celaka. Negeri itu menunjukkan kekacauan dan ketidakharmonisan sehingga di balik kebutuhan atas sosok pahlawan, sesungguhnya patut disesalkan lantaran susahnya memperoleh/ mendapatkan sang pahlawan.
Kolomnis kenamaan Mahbub Djunaidi suatu saat pernah menulis, “Pangeran Diponegoro bagi orang Indonesia adalah pahlawan. Tetapi di mata orang Belanda (waktu itu) dia adalah pemberontak dan bandit”. Dengan kata lain stereotif penilaian terhadap pahlawan tergantung pada sudut pandang masing-masing, dan itu sangat bertentangan. Maka menjadi pahlawan atau bukan akhirnya bias lantaran basis dukungan yang berbeda.
Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Apakah masih butuh pahlawan untuk menaikkan devisa negara atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional? Ataukah untuk menjadi negosiator dengan pihak asing, terutama menyangkut kontrak karya? Masih perlukah pahlawan di zaman kini manakala kondisi bangsa tengah dilanda kegaduhan politik dan ekonomi yang berkepanjangan? Siapakah sosok pahlawan itu? Presiden Joko Widodo? Ketua DPR/ MPR? Ataukah sosok kiai yang sama sekali tidak terpublikasi karena beliau lebih suka berbuat amal shaleh ketimbang selfie di media elektronik dan media cetak?
Dalam konteks Indonesia saat ini pasti debatable seandainya harus hadir sosok pahlawan pembebas yang ditengarai mampu membebaskan ketertinggalan kita dari bangsa lain. Sangat boleh jadi jika ia hadir maka akan muncul perlawanan dan ketidaksukaan sebagian besar politisi dan para elit negeri. Perlawanan yang berangkat dari kenyataan ternyata bukan mereka yang terpilih sebagai pahlawan yang dinantikan.
Sejatinya kita butuh sikap kepahlawanan (heroworship) dengan jiwa heroik-nya guna meningkatkan status dan derivate negeri Indonesia dalam pergaulan dunia. Negeri yang sejak Reformasi 1998 tidak/ kurang memperoleh simpati negara lain, kecuali Amerika Serikat yang berpura-pura menempatkan Indonesia sebagai negara paling demokratis ketiga di tingkat internasional. Pemberian/ penilaian itu melenakan anak bangsa untuk terus menuntut haknya kepada negara dengan melupakan kewajibannya sebagai warga negara. Demo dan mosi tidak percaya tidak hanya berlangsung di jalan melainkan juga di ruang ber-AC dalam gedung mewah dan parlemen.
Pahlawan di zaman kini adalah sosok yang bekerja dengan hati dan mendahulukan empati kepada orang lain. Bukan semata untuk dirinya. Konon kata seorang kiai, biasanya orang yang berempati kepada kepusingan orang lain di sekitarnya maka dia terbebas dari kepusingan pribadi. Waktunya habis memikirkan dan membantu orang lain yang butuh. Dia menjadi milik umat dan iklas menjalani peran itu. Saya kira inilah sosok pahlawan yang harus ada di zaman kini untuk membebaskan kepedihan/ kepusingan orang lain dari tekanan psikis dan fisik berupa kekurangan ekonomi.
Tentu saja untuk berempati kepada persoalan orang lain tidak sertamerta dapat dilakukan. Hal ini harus dimulai sejak seseorang melibatkan diri dalam urusan umat. Artinya kepedulian atas derita orang lain tidak sekadar dibicarakan, akan tetapi diberikan solusi sehingga sang penderita bias keluar dari penderitaannya. Inilah sikap kepahlawanan dalam konteks sosial, inilah empati yang kerap dirujuk sebagai kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Pahlawan di zaman kini akan kian banyak berderet dan sulit menyebutkan/ menghafal nama-namanya karena sangat banyak. Pahlawan dalam pengertian seseorang yang merealisasikan ajaran-ajaran kebaikan dan kebajikan dalam hidup keseharian. Pahlawan dalam fakta bukan pahlawan dalam fiksi, terlebih pahlawan dunia maya.
Kembali ke dialog Galileo Galilei dengan Andrea, kita dikejutkan oleh kenyataan betapa untuk menjalani peran pahlawan tidak sekadar bisa dipahatkan melalui peperangan hebat di medan laga atau seberapa banyak berhasil membunuh musuh ketika berperang (terbuka maupun gerilya), melainkan lebih kepada sikap kepahlawan yang harus diupayakan menjadi cirri bangsa beradab. Jikalau setiap organ masyarakat menjalankan peran kepahlawanan maka ujaran Galileo menjadi benar, bahwa, “Celaka bangsa yang membutuhkan pahlawan”.
Sebaliknya manakala masyarakat di suatu negeri lebih suka korupsi, merampok uang rakyat, memanipulasi data guna memperoleh kekayaan, melampiaskan kesumat atas nama politik dan kepentingan ~maka jangan-jangan Andrea benar, sesungguhnya kita tergolong bangsa yang memerlukan sosok pahlawan. Dalam pengertian lain bangsa kita berada dalam status berbahaya dalam skala khianat atas amanat yang diemban.
Di manakah posisi masyarakat Indonesia menyoal pahlawan? Yang membutuhkan pahlawan ataukah tidak?***
(rr/DK)