MELANJUTKAN kolom terdahulu saya di Beningpost yang berjudul “Kontrak Karya” dan “Catut”, pikiran kita mengarah ke PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Timia, Papua. Perusahaan tambang yang mulai beroperasi pada tahun 1966 ini selalu menjadi berita utama di negeri ini. terutama dalam kaitanya dengan silang sengkarutnya hubungan dengan penguasa negeri ini. Perusahaan yang berpusat di Phenix, Arizona, Amerika Serikat ini adalah raksasa di bisnis pertambangan dunia.
Sejak era reformasi bergulir semua pihak seolah berlomba untuk turut ambil bagian dalam kontrak karya PT Freeport dengan pemerintah kita. Setelah sekian lama tidak berani mengusik di era Orde Baru, semua yang terlibat dengan kekuasaan di era reformasi ini banyak yang mengungkit bagi hasil yang tidak sepadan antara PT Freeport dengan pemerintah yang dirasa merugikan pemerintah. Semua bersuara sepertinya semua adalah pembela rakyat.
Freeport mengeluh ketika masalah bagi hasil dalam kontrak karya mereka ini disinggung oleh banyak pihak di negeri ini. Mereka beranggapan bahwa selama ini yang mereka dapatkan tidaklah sebanyak yang dikira banyak pihak di negeri ini. Mereka hanya bisa mengeluh tak berani bersuara, ke manakah keuntungan mereka selama ini mengalir. Kini era berubah, mereka berani bersuara bahwa banyak keuntungan mereka sebenarnya dimintai lagi sebagai upeti untuk para segelintir penguasa di negeri ini.
Transkrip pembicaraan ketua DPR Setya Novanto yang telah diperdengarkan dalam sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) awal Desember tahun ini merupakan indikasi akan keluhan yang selama ini dilontarkan oleh PT Freeport. Interaksi Pengusaha dan Penguasa selalu menimbulkan kecurigaan di benak masyarakat. Selalu ada celah penyimpangan penyalahgunaan kekuasaan di tangan penguasa yang korup.
Awal mula PT Freeport Indonesia berdiri, sesungguhnya terdapat kisah perjalanan yang unik untuk diketahui. Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua.
Proyek Ertsberg
Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua, tiba-tiba jauh di - pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu pegungungan yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. –Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.
Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.
Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA. Lorentz dan Kapten A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan.
Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama bertemulah seorang Jan Van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisanya serta melakukan penilaian.
Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan Jendral Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.
Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.
Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan, kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972, Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura. Pada tahun 1973 Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang mempunyai latar belakang pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an, suami dari Miriam Budiarjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi dalam perjanjian Renville.
Renegosiasi
49 tahun kemudian, yakni tahun 2015 ini PT Freeport digugat. Rakyat Indonesia khususnya pribumi Papua sebagai pemilik sah kekayaan tambang nan luar biasa itu selama perusahaan tambang raksasa ini beroperasi sepertinya tidak memperoleh buah atas kekayaan itu. Bahkan tak sedikit nyawa warga Papua melayang hanya karena melakukan demo dan menyuarakan ketidaksukaan atas ketidakmerataan bagi hasil kekayaan bumi Papua. Ironinya pihak keamanan republik menjadi “algojo” untuk meredam gejolak masyarakat Papua. Bedil pun bicara.
Kasus Setya Novanto pada satu sisi memperlihatkan betapa kotornya praktik politik di Indonesia. Namun pada sisi lain membuka mata bangsa atas pentingnya kekuatan pemerintah RI manakala bernegosiasiasi dengan pengusaha asing. Sepanjang pemerintah kalah dalam negosiasi maka jangan harap PT Freeport Indonesia akan membagi 51% keuntungan operasionalnya bagi negara. Bukankah kita tidak tahu keuntungan sebenarnya PT Freeport setiap tahun? Artinya kalau pun PT Freeport setuju memberikan 51% untuk Indonesia, bersediakah PT tersebut mengeluarkan data akuntan yang sebenarnya, bukan angka-angka yang telah direkayasa.
Dalam hemat penulis Presiden Jokowi seharusnya bisa mendesak PT Freeport Indonesia untuk membuka alur kas keuangannya sehingga ketika regoniasasi tercapai, Indonesia tidak berada pada posisi subordinat. Lantaran tidak mengetahui angka yang sebenarnya. Dan menurut penulis pemerintah jangan gegabah mengambil alih pengelolaan PT Freeport. Biaya operasional dan (mungkin) teknologi yang diperlukan bagi eksplorasi lahan tambang seluas 212.950 ha ini boleh jadi belum mampu ditangani bangsa sendiri. Yang penting harus ada kekuatan diplomasi agar renegosiasi pemerintah dengan PT Freeport memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia.***
(rr/DK)