TEMA radkalisme agama belakangan kembali menjadi tranding topic di Indonesia. Negara bahkan berkepentingan untuk meniadakan radikalisme ini. Sejak tumbuhnya gelombang kesadaran beragama secara simbolis penguatan atas kekerasan sepertinya memperoleh porsi yang cukup besar. Maka berbagai langkah ditempuh supaya radikalisme agama tidak terus menerus menghantui. Kendati bisa jadi masalah ini hanya “heboh” di kalangan terbatas yang sadar akan kemajemukan, akan tetapi dampak radikalisme ini telah meruyak sendi-sendi perekonomian dan stabilitas nasional. Tanpa mengesampingkan apatisme sebagian kalangan masyarakat, agaknya kekerasan yang dibungkus dengan kemasan agama ini tidak cukup popular serta dibicaraka hanya ketika peristiwa tersebut berlangsung. Sebut saja ketika televisi giat mempublikasi Bom Sarinah dan diputar berulang-ulang, masyarakat terhenyak mengutuk peristiwa kekerasan itu.
Namun demikian, manakala televisi kembali dengan acara regulernya, kekerasan agama seakan terlupakan. Beberapa peristiwa lain tumpuk menumpuk dan tumpang tindih masuk ke dalam daftar “menu” sehari-hari yang dimanage cukup baik oleh pengelola media. Lalu Bom Sarinah pun terlupakan.
Ternyata upaya penolakan terhadap kekerasan agama, selain dilakukan oleh aktivis sosial keagamaan, Garin Nugroho pun melakukannya dengan media perfilman. Salah satunya berjudul Mata Tertutup. Dengan pemain Jajang C. Noer, Eka Nusa Pertiwi, M. Dinu Imansyah --Garin hendak menyampaikan pesan moral betapa pemahaman agama sesungguhnya tidak bersifat linear.
Mata Tertutup Ini adalah cerita paling 'renyah' dari sineas Garin Nugroho. Sederhana, namun menyiratkan banyak makna. Diambil dari kisah nyata tentang kehidupan orang-orang yang terjebak dalam fundamentalisme agama. Tiga kisah tentang orang yang terjerat dalam gerakan Islam radikal. Kisah ini mengalir seperti omnibus yang masing-masing cerita saling tidak berhubungan, namun memiliki kesamaan kisah.
Cerita pertama tentang Ada Rima (Eka Nusa Pertiwi), seorang gadis yang sedang gundah dalam pencarian identitas. Dalam kegamangannya, ia terlibat dalam Negara Islam Indonesia (NII). Bagaimana proses perekrutan, doktrinasi, dan sulitnya mempertahankan keyakinan menjadi jalan panjang yang dipaparkan dalam bagian pertama film ini.
Cerita kedua masih tentang NII, Asimah (Jajang C. Noer), seorang ibu yang kehilangan anak satu-satunya: Aini. Anaknya menjadi korban penculikan orang-orang dari kelompok Islam Fundamentalis. Parahnya, penculikan itu berlangsung ketika Asimah tengah berada pada proses perceraian. Asimah jadi kian frustasi. Namun, dia tidak mau kehilangan lagi orang yang dicintainya. Perjuangan Asimah untuk menelusuri jejak kehidupan anaknya, demi mencari anaknya, menjadi cerita utama. Dan ketika akhirnya anaknya pulang, Asimah tak lantas bernafas lega. Persoalan lain masih membayangi keluarga kecilnya tersebut.
Cerita ketiga tentang Jabir (M. Dinu Imansyah), seorang remaja yang merelakan diri menjadi pengebom bunuh diri karena terdorong oleh kondisi keluarga dan kesulitan ekonomi. Jabir dikeluarkan dari pesantren di mana dia menuntut ilmu. Impiannya adalah membuat ibunya bangga. Ketika Jabir mendapat tawaran sebagai pelaku bom bunuh diri, batinnya mantap karena dijanjikan menjadi pembuka pintu surga ibunya.
Di akhir cerita, penjelasan tentang radikalisme dalam berbagai agama yang dirangkum dari berbagai sumber menjadi referensi penonton untuk memahami isi film ini. Meskipun diambil dari kisah nyata, namun kemampuan akting pemainnya membuat film ini jauh dari kesan dokumenter. Terlebih, Garin masih sempat meletakkan lelucon sebagai penyegar suasana dalam film yang temanya tak ringan ini.
Tentang film `Mata Tertutup` ini bertahun lalu sempat saya diskusikan dengan pegiat sekaligus penulis film asal Cirebon, Nana Mulyana melalui jejaring social facebook. Tentang dialog yang kuat antarpemain, dan terutama pandangan sineas mengenai kekerasan agama, sesuatu yang diam-diam merambah ke dalam ruang privat.
Itu sebabnya ketika Fahmina Institute menggelar workshop Konsolidasi Masyarakat Untuk Cirebon Damai pada tanggal 2-3 Februari 2016, saya teringat kembali ke film karya sineas Garin Nugroho yang kaya dengan dialog-dialog pemahaman keagamaan. Bahwa menjadi muslim itu tidak identik dengan penguatan ideologi sesuka hati atau sesuka organisasi keagamaan yang disinggahi dan dianut. Menjadi muslim tentu saja bukan menjadi destroyer yang meniadakan orang/ kelompok yang berbeda pemahaman keagamaannya. Sebaliknya jikalau muslim harus mendiadakan muslim yang lain, sejatinya kita telah menjadi pemilik kebenaran serta mengklaim kebenaran (pemahaman kitalah) sebagai satu-satunya yang benar-benar mutlak. Orang di luar kita menjadi musuh, dikafirkan, dinistakan dan hahal darahnya. Sebuah keadaan kejiwaan yang boleh jadi tidak disadari oleh penganut paham ini.
Di balik kekerasan agama mungkin sudah saatnya kita merenung tentang peran sosial keagamaan yang berlangsung di tengah masyarakat. Bisa saja ternyata diam-diam kita abai serta tidak melaksanakan upaya apa pun untuk menangkal berlangsungnya peristiwa kekerasan agama. Mesjid dan surau atau lembaga sosial di dekat kita jarang kita singgahi, sementara para penganut kekerasan agama terus bergerak masuk ke berbagai lembaga sosial keagamaan yang bermula dari rumah ke rumah para anggoanya sendiri. Kita hanya asik dengan pemikiran kemajemukan yang ditularkan/ ditulis di media sosial atau dibincangkan dalam seminar/ workshop.
Berangkat dari titik kesadaran untuk meninggalkan menara gading, maka inilah saat yang baik sejumlah aktivis untuk berkiprah secara nyata di ruang publik yang bernama Indonesia. Tawaran konsep Islam Nusantara yang (antara lain) menghargai kearifan lokal dapat dirujuk sebagai input demi peniadaan kekerasan atas nama agama.
(rr/DK)