Kebijakan 100% e-Money Hanya Untungkan Perbankan?!

Ekonomi » Harun Yunus | 18/09/2017 15:30:00 WIB

Kritik terhadap biaya isi ulang uang elektronik atau top up e-money ternyata bukan tanpa alasan. Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menilai kebijakan itu hanya menguntungkan perbankan ketimbang pengguna e-money.

Ini disampaikan Heri menyikapi rencana penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI), di mana seluruh ruas tol di Indonesia wajib menggunakan transaksi nontunai, mulai Oktober tahun ini. Setiap kali isi ulang, konsumen akan dikenakan biaya Rp1.500.

Heri lantas menyodorkan hitung-hitungan. Contoh untuk kartu baru e-money yang dibeli dengan harga Rp 25.000. Lalu, biaya top up yang dibebankan ke masyarakat sebesar Rp1.500.

Bila dari empat bank saja tercatat pengguna kartu e-money sebesar 27,6 juta kartu, Bank Mandiri 9,61 juta, BNI 1,5 juta, BRI 6,6 juta, BCA 10 juta.

Dengan rata-rata transaksi per bulan sebanyak 1 kali transaksi, maka uang top up yang diraup bank sebesar 27,6 juta dikali Rp 1.500, totalnya Rp 41,4 miliar per bulan. Dalam waktu satu tahun, totalnya Rp 496,8 miliar.

Kalau kita tambah dengan harga beli kartu Rp25 ribu, maka total dana masyarakat yang disimpan di bank sebesar Rp 496,8 ditambah Rp25 ribu kali 27,6 juta, totalnya Rp1,2 triliun per tahun.

"Itu bukan uang yang sedikit. Nah, uang itu dibikin apa? Bagaimana pertanggungjawabannya di bank-bank, terutama BUMN? Kan tidak jelas. Padahal semangat e-money itu adalah transparansi sistem pembayaran," ucap Heri di Jakarta, Senin (18/9).

Hitungannya menjadi lain lagi untuk e-money kartu tol. Harga belinya Rp 50 ribu, tapi hanya berisi Rp 30 ribu, sehingga tersisa Rp 15 ribu setelah dipotong biaya administrasi dengan asumsi sebesar Rp5.000 per kartu.

"Itu kemana uangnya? Ini kan sangat merugikan dan memberatkan masyarakat," tegas politikus Gerindra ini seperti dilansir laman JPNN.

Jika mengacu data BPS, ada sekitar 16 juta unit kendaraan di Jakarta, dan lalu dalam satu bulan rata-rata 1 kali mengisi ulang, maka uang yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp1.500 kali 16 juta, totalnya Rp24 miliar. Dalam satu tahun Rp288 miliar.

"Ini baru Jakarta, belum kota-kota lainnya," tutur dia.

Harusnya pada konteks ini, BI bisa meminimalisir kerugian-kerugian tersebut lewat skema interkoneksi antar uang elektronik di semua pintu tol serta interkoneksi antar bank, baik BUMN atau swasta. Sehingga semakin efisien, dan bank tetap diuntungkan perputaran dana yang diperoleh.

Jangan sampai alasan penyediaan infrastruktur pembayaran elektronik menjadi tameng yang seolah-olah itu adalah tanggung jawab masyarakat.

Sebagai bank sentral yang independen, BI yang bertugas mengatur kebijakan sistem pembayaran harus berpihak ke masyarakat.

"Jangan bertindak seolah-olah menjadi Bank Komersil yang mencari untung. Insentif tersebut bisa berwujud gratisnya seluruh biaya, bebas pungutan apa pun. Karena itu BI musti meninjau ulang kebijakan biaya top up tersebut," pungkas politikus asal Jawa Barat ini.

(rr/HY)

Artikel Terkait :

Share : Twitter | Facebook

Kirim Komentar