SASTRA pada tahun 2015 sepertinya dihadapkan pada sejumlah tantangan. Tantangan dimaksud merujuk kepada sepinya polemik sastra Indonesia sebagaimana tahun 1990-an yang lalu. Masyarakat sastra bagai tenggelam oleh hiruk pikuk parade politik nasional yang berimbas pada sastra sunyi. Kesunyian yang sesungguhnya dapat disibak seandainya masyarakat sastra dan pegiat seni mampu berdiri di atas kaki sendiri secara ekonomi.
Parade politik tahun 2015 yang tercatat di Jawa Barat misalnya, cukup kuat menciptakan sastra sunyi. Pemilihan kepala daerah baik bupati maupun walikota, cukup terbukti menyihir sastra hingga terdiam. Masyarakat sastra dan pegiat seni bahkan banyak yang langsung terlibat ke arena politik itu. Terlibat secara aktif semisal menjadi vote getter bagi calon kepala daerah, maupun mendaftarkan diri sebagai salah satu bakal calon kepala daerah. Keikutsertaan publik sastra dan pegiat seni di kancah politik berimbas kepada sastra sunyi.
Di atas dijelaskan seandainya masyarakat sastra dan pegiat seni mampu secara ekonomi maka tahun 2015 khazanah sastra masih gegap gempita. Kelemahan sektor ekonomi inilah penyebab sastrawan dan seniman mencelupkan tubuhnya pada kegiatan politik praktis. Dengan disertai harapan perolehan uang, networking, maupun akses ke depan apabila jago atau calon kepala daerah yang digadang-gadang sukses meraih kedudukan. Di sisi lain iklim bisnis yang aduhai amburadul pada 2015 terutama sejak nilai tukar dolar terus menjepit rupiah hingga di atas 15.000 tidak saja mengoyak kehidupan sastra. Bahkan tidak perlu anjuran, masyarakarat kian mengetatkan ikat pinggang.
Sastrawan dan seniman pun di tahun 2015 telah merelakan diri menjadi bagian dari sub mesin suatu partai politik. Apa jadinya? Pentas sastra dan seni diselenggarakan dengan modal dari politisi dan atau cukong yang mendanai kandidat. Pentas sastra memang digelar namun diawali sambutan singkat sang kandidat. Pentas wayang kulit, wayang orang, tari tradisi di beberapa tempat banyak digelar, tetapi diawali oleh sambutan politik. Pentas kesenian Jawa Barat semarak hingga kantong-kantong seniman pun disinggahi seniman Dedy Mizwar, wakil gubernur Jawa Barat. Suasana kian memanas menjelang Pilkada Serentak pada Desember 2015. Memanas dalam pengertian terbelahnya dukungan serta aktivitas sastrawan dan seniman kepada calon kepala daerah.
Hingar bingar politik, isu saling hujat dan tebar fitnah diam-diam dilakukan sastrawan dan seniman. Semua itu dilakukan secara sadar, sesadar-sadarnya dan tanpa paksaan. Semuanya dilakukan sastrawan dan seniman demi dan untuk sebuah pengharapan seperti disinggung di atas.
Pertanyaan yang layak diajukan, pertama, dimanakah letak bening nurani sastra dan seni ketika politisasi telah merambah ke segala lini dan pentas kesenian/ sastra yang mestinya tegar berdiri di atas kesejatian? Kedua, sastra dan seni yang kadung masuk kategori subordinasi politik, masih layakkah untuk dipertahankan? Ketiga, tatkala sastra dan seni berkubang dengan lumpur politik, akan lahirkah pujangga besar sebagaimana masa lalu sejarah sastra dan seni Indonesia?
Sastra dan seni di tahun 2015 terjerembab pada posisi yang diciptakan pegiatnya sendiri. Dengan demikian berlangsung suatu keadaan yang dapat dikatakan Sastra Sunyi. Ia menepi dengan membungkuk di hadapan kuasa politik. Ia menampilkan karya sastra dan seni demi kemenangan politik, bukan demi estetika dan kesejatian sastra/ seni yang bebas nilai. Independensi sastra/ seni menjadi pertanyaan besar di tahun 2015.
Saya ingat betul janji yang diucapkan Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedy Mizwar ketika menutup pentas seni Gotrasawala di Panggung Budaya Sunyaragi Cirebon. Janji untuk menetapkan Cirebon sebagai lokus kesenian yang mendunia. Akan tetapi musisi asal Kanada, Ana Alcaide malah menembangkan 8 lagu kolaborasi berbahasa Sunda di hadapan publik Cirebon. Tidak ada satu pun lagu Cirebonan dimodifikasi dengan musik Spanyol atau Kanada. Kampung Seni Cirebon yang dijanjikannya raib entah kemana. Cirebon yang kaya dengan keberadaan seni tradisi sejak masa para wali di Jawa --berkehendak sederhana yaitu adanya kampung seni untuk dapat mementaskan dan menghidupkan kesenian tradisi. Saya juga ingat betul betapa Demiz sangat yakin bakal merealisasikan impian para sastrawan dan seniman Cirebon. Saat itu ketika berdialog dengan sekitar 40-an peserta, Dedy Mizwar (Demiz) berdiri dengan kepala tegak. Sedangkan seniman dan sastrawan menatapnya dengan takjub dan tunduk.
Di bawah kuasa politik, sastra dan seni menjadi sunyi. Tak ada teriak lantang menyuarakan keadilan yang tergores. Tak ada kokohnya independensi sastra dan seni. Tak nyaring lagi suaramu, hingga kata penyair Afrizal Malna: Yang diam di depan microphone.
Pada saat bersamaan, politisi memegang kendali serta menjadi fokus yang memancarkan cahaya. Lantas orang-orang seni dan sastra yang telah merelakan karyanya demi dan untuk sukses politik, tiba-tiba bungkam. Mulutnya terkatup.
Sastra nan sunyi pada 2015 adalah sastra dan seni yang sengaja dijungkalkan oleh pegiat seni. Dan itu dilakukan ketika sastra dan seni Indonesia tengah banjir ide plus kreatifitas. Jika demikian mengapa dulu Manifesto Kebudayaan memberangus Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra? Bukankah para penerus generasi Manifesto Kebudayaan pada tahun 2015 pun tunduk dan takjub memandang kuasa politik.
Hingar bingar sastra dan seni akhirnya tak berjarak jauh dengan hingar bingar politik. Sastra sunyi semoga tidak akan terulang lagi dan catatan kelam 2015 agaknya menjadi pelajaran penting untuk menyejajarkan sastra dan seni dengan bidang apa pun. Termasuk dengan politik
`Papah Minta Saham`, sastra pun minta "saham" dalam pengertian kesejajaran diri di hadapan para pemilik saham kekuasaan dan politik.***
(rr/DK)