06 Oktober 1973, Pramoedya Ananta Toer berbicara tentang demokrasi dari pembuangannya di Pulau Buru. Kala itu, Indonesia tinggal memiliki tiga partai politik, hasil peleburan partai-partai yang ada. Di hadapan tim yang mewawancarainya, Pram mengungkapkan bahwa bentuk masyarakat yang lebih baik bagi Indonesia ialah masyarakat demokratis. Namun, ketika ditanya bentuk demokrasi terbaik, Pram menjawab, demokrasi terbaik sulit diketahui sebelum orang dapat mengetahui watak dan moralitas kolektif dari rakyat (Indonesia) serta asal muasal golongan yang berkuasa.
Bertahun-tahun kemudian ketika Soeharto lengser, dan demokrasi berubah menjadi sebentuk kompetisi terbuka setelah partai-partai politik kembali berbiak, dan para pemimpin tidak lagi dipilih dalam ruang tertutup, tetapi langsung dipilih oleh rakyat, siapa yang peduli pada watak dan moralitas kolektif rakyat, atau asal muasal golongan yang berkuasa? Kejatuhan Soeharto konon telah menjadi titik awal langkah negara ini memasuki sebuah masa yang disebut reformasi, disusul penerapan sistem otonomi daerah dan pemilihan umum langsung. Bangsa ini seakan berada dalam ketergesaan menikmati setiap hal yang tidak mungkin dinikmati selama 32 tahun kekuasaan Soeharto.
Ketergesaan jugalah yang barangkali telah mengubah demokrasi menjadi sebuah kegilaan yang memakan sekian banyak korban. Demokrasi Indonesia seolah akan kembali pada aras sejatinya sebagai sebuah proses yang memang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Inilah jalan yang oleh sebagian rakyat diyakini akan menghantar negeri ini menuju masa depan di mana tidak ada seorang ibu mengeluh kekurangan air susu buat menyusui anaknya, sebagaimana diorasikan Sukarno sekembalinya dari pembuangan Bengkulu.
Namun, justru di sinilah sesuatu yang buruk terjadi. Sesuatu yang bertahun-tahun silam pernah dibicarakan Pram sebagaimana dicatat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Barangkali inilah salah satu persoalan yang tersisa dan mesti diselesaikan dalam penerapan demokrasi langsung saat ini. Apakah watak dan moralitas kolektif bangsa ini telah disiapkan untuk menerima kenyataan, bahwa dalam sebuah kompetisi terbuka ketika satu pihak keluar sebagai pemenang, selalu ada yang mesti dikalahkan. Keberanian dan kebesaran jiwa dalam menerima kekalahan adalah salah satu tuntutan yang mesti dipenuhi ketika seseorang memberanikan diri terlibat dalam sebuah pertarungan terbuka.
Watak dan mental kolektif masyarakat yang sekian abad dibentuk dalam kultur musyawarah mufakat tidak pernah menyiapkan orang untuk kalah apalagi dikalahkan. Musyawarah mufakat yang diklaim sebagai salah satu nilai khas bangsa ini lebih mendudukkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya pada posisi setara, dimana menang atau kalah tidak selalu menjadi tujuan yang ingin dicapai. Tidak ada yang keluar dari proses musyawarah mufakat sebagai pihak yang kalah atau dikalahkan, apalagi dengan cara-cara curang seperti praktik jual beli suara atau politik uang (money politic).
Nah, ketika bangsa dengan karakter dan moralitas kolektif yang sekian abad terbentuk seperti ini beralih dalam ketergesaan ke alam demokrasi liberal yang melegalkan kompetisi terbuka, muncullah masalah, timbullah aneka konflik, dan korban pun berjatuhan. Sebab kompetisi terbuka kadang tidak mengenal hukum, selain mengadopsi hukum rimba, di mana siapa yang kuat dalam modal ekonomi dan sosial bisa dengan mudah keluar sebagai pemenang. Kemunculan sang pemenang selalu diikuti pula oleh kehadiran mereka yang kalah atau dikalahkan. Mereka yang bisa jadi tidak memiliki cukup modal selain tekad untuk mencoba peruntungan belaka.
Perlu disadari pula bahwa demokrasi yang dijalankan di Indonesia hari ini bukan lagi dilalui sebagai sebuah proses politik, melainkan sedikit banyak mengambil mekanisme pasar. Semenjak diterapkannya pemilihan umum langsung, mekanisme pasar tampil dengan wajahnya yang paling kentara dalam proses politik. Bahkan, proses politik lebih banyak menggunakan mekanisme ekonomi, dimana jual beli suara menjadi sesuatu yang sangat banal dan terjadi secara simultan di hampir seantero negeri ini dan dilakukan nyaris oleh setiap mereka yang mencoba peruntungan terjun ke dunia politik
Menengok data yang dikeluarkan berbagai lembaga penelitian terkait konflik dan kerugian yang ditimbulkan pasca pelaksanaan pilkada langsung, misalnya, akan langsung kelihatan potensi konflik horizontal yang mengintai di balik pelaksanaan pemilihan umum langsung, sebagaimana pernah terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD)-NTT. Artinya, ada pekerjaan rumah besar yang mesti diselesaikan oleh pemerintah terutama dalam mempersiapkan mental masyarakat untuk menerima hasil kompetisi terbuka bernama pemilihan umum langsung ini. Sebab dalam kenyataan, penyelenggaraan pemilihan umum langsung tidak jarang juga menyeret isu-isu primordial dan memanfaatkan penanda-penanda identitas dimana masyarakat dengan mudah dapat dipecah dalam kubu-kubu yang saling mengidentifikasi sebagai musuh.
Selain itu, awasan Pram soal identifikasi kelas sosial yang berkuasa juga perlu menjadi perhatian. Kelalaian yang terjadi dalam mengidentifikasi kelas sosial yang berkuasa telah berakibat pada maraknya upaya membangun dinasti kekuasaan sebagaimana terjadi di Banten, dengan tokoh utamanya tidak lain adalah Ratut Atut Choisyiah yang kini mendekam dalam penjara akibat praktik korupsi. Kompetisi terbuka yang mengandalkan kekuatan modal pada akhirnya hanya akan melestarikan kekuasaan di tangan salah satu keluarga atau klan yang berkuasa sebagaimana terjadi pada masa ketika feodalisme dipraktikkan dalam sistem sosial masyarakat Indonesia.
Namun, siapa peduli? Toh, kita memang mengalami loncatan dari masyarakat feodal menjadi masyarakat demokratis. Kita belum benar-benar selesai mencabut akar-akar feodalisme sebelum mulai menanamkan tunas demokrasi pada lahan bernama Indonesia ini. Penguasaan modal menyebabkan terpusatnya kekuasaan pada segelintir golongan yang jelas akan terus berupaya mereproduksi kekuasaannya dengan segala cara.
Bukankah kekuasaan itu memberi kenikmatan tersendiri bila digenggam hanya oleh kalangan sendiri? Di era kompitisi terbuka macam sekarang, kemungkinan untuk mempertahankan kekuasaan oleh kelas sosial tertentu menjadi lebih terbuka oleh ketersediaan dukungan modal dan penggunaan mekanisme pasar dalam proses politik. Kemungkinan ini bisa jadi sudah disadari oleh beberapa kalangan yang peduli pada pelaksanaan demokrasi yang sehat di Indonesia, meski dalam kenyataan upaya mengatasinya belum benar-benar berhasil.
Namun, upaya-upaya menyelesaikan pekerjaan rumah bagi penyelenggaraan demokrasi demi mewujudkan tatanan masyarakat yang benar-benar demokratis memang tidak pernah boleh dihentikan. Apa yang dibicarakan Pram puluhan tahun lampau di Pulau Buru, kini sungguh-sungguh kita hadapi sebagai sebuah tugas, atau barangkali amanah yang harus dituntaskan, daripada menyerah dan membiarkan masyarakat kita menjadi korban penerapan demokrasi yang tidak sesuai atasnya.***
(rr/AF)