RATUSAN kepala daerah baru se-Indonesia sebentar lagi memimpin kota/ kabupaten pasca pilkada serentak 9 Desember ybll. Ke pundak mereka harapan rakyat ditambatkan. Rakyat berharap perubahan yang dijanjikan kepala daerah manakala kekuasaan telah digenggam di tangannya tidak berlalu bagai angin. Meski faktanya janji perubahan itu terbang dan menguap entah ke mana. Perubahan sebagai merk jual ketika hendak memperoleh dukungan/ suara rakyat bagi keinginan politik pribadi seketika lenyap ditelan waktu.
Maka berlangsunglah kebohongan yang juga ditambah dengan kebohongan lain, dan itu dilakukan dengan sadar. Kekuasaan sudah digenggam. Lupakan rakyat lalu penuhi pundi-pundi emas di rumah pribadi, rumah sanak kerabat atau sahabat, bukan di rumah seluruh rakyat.
Pada sebuah kisah Jendral Soedirman menolak makan sup ayam yang diberikan ajudannya. Ketika itu ia bertanya, "Anak-anak makan apa?". Sang ajudan, Urip Sumoharjo menjawab, "Ubi rebus, Jendral". "Beri saya ubi rebus," kata Soedirman.
Sang ajudan meneruskan alasannya, "Bapak perlu makanan ini. Bapak sedang sakit". Tetapi Soedirman berkata tegas, "Beri saya ubi rebus. Ini perintah!".
Kisah itu tak lepas dari ingatan meski saya baca dari Majalah Panji Masyarakat tahun 70-an ketika ayahanda berlangganan majalah yang diasuh Buya Hamka itu.
Pada kesempatan lain seorang kawan berkata, "Pemimpin iku kudu siap kempong. Tapi rayate kudu wareg". Perkataan itu faktanya sangat jauh dari kenyataan. Terbentang jarak panjang dan jeda tak berhingga. Karena umumnya pemimpin kenyang membiarkan rakyatnya lapar.
Kalimat sarkas di atas terpaksa muncul lantaran fakta saat ini menyangkut kesenjangan orang berpunya dan kaum papa. Banyak resto, kafe dan rumah kuliner yang disinggahi konsumen bermobil bagus sementara kita tidak tahu berapa jumlah dapur rumah tangga rakyat yang tidak mengepulkan asap. Betapa banyak ekesekutif muda mengeluarkan uang menjamu tamu dan koleganya, sedangkan di sisi lain masih banyak rakyat mengeluh mahalnya harga satu kilogram beras.
Mainan Baru
Kembali kepada janji perubahan kepala daerah sepertinya kita dihadapkan pada kenyataan paling buruk bahwa rakyat masih sulit makan. Bukan karena ketiadaan/ ketersediaan bahan pangan melainkan ketidaan alat tukar alias uang.
Dengan janji perubahan masyarakat tersihir memilih dia pada pilkada. Dengan janji murahnya beaya pendidikan, harga sembako, kesehatan –masyarakat memilih sang pengobral janji. Dengan yel-yel memukau hingga tampak urat lehernya, masyarakat memilih dia.
Namun di balik itu setelah kekuasaan digenggam dengan sedap, setelah sumpah jabatan sebagai kepala daerah diliput media massa dan disaksikan ribuan pasang mata, ia lupa janjinya. Bahkan ia lupa mengucapkan terima kasih kepada rakyat yang menitipkan suara politiknya. Ia asik dengan "mainan baru" yang bernama APBD. Mainan itu diutak-atik dengan stafnya agar sekian puluh prosen masuk ke rekening pribadinya. Jika perlu staf yang telah membantu menambahkan saldo rekening bank nya tidak perlu diberi sepeser pun. "Itu tugas Anda", katanya jumawa.
Sangat kontras dengan Jendral Soedirman yang memperhatikan anak buahnya. Sangat berjarak dengan Umar bin Khattab yang sederhana namun sangat responsif atas kemiskinan rakyatnya. Dan sangat jauh dari rasa takut akan berbedanya ucapan dengan perbuatan.
Masyarakat Cirebon mengenal istilah jarkoni, bisa ngajar bli bisa nglakoni. Idiom itu tepat kiranya disematkan kepada para pemimpin yang hianat. Hianat atas janji-janji sendiri di hadapan rakyat. Hianat yang sengaja dilakukan secara sadar namun tak merasa bersalah. Mungkin sebagai politisi ia terbiasa berhianat. Jas dasi mewah ia gunakan untuk membohongi rakyat. Bahkan dengan kostum itu ia semakin berjarak dengan rakyat.
Menjadi pemimpin sejatinya menjadi orang yang memberikan teladan mulia kepada rakyat. Menjadi pemimpin identik menjadi panutan yang mencontohkan kebaikan serta membagi kue kepemimpinan itu bagi seluruh rakyatnya. Bukan hanya kepada kaumnya. Atau kerabat sahabat yang dulu membantu kampanye politiknya. Menjadi pemimpin dengan demikian menjadi keharusan untuk memahami apa yang terbaik bagi rakyatnya.
Kisah ubi rebus dalam fase gerilya Jendral Soedirman di Yogyakarta seperti ditulis di atas tidak saja menggambarkan kebesaran hati dan sikap welas asih seorang pemimpin. Akan tetapi menempatkan pimpinan dengan anak buah dalam porsi yang sama. Artinya jikalau menu makan saja harus berbeda maka sang pemimpin sudah memagari diri dan berjarak dengan rakyatnya.
Tentu pembaca budiman masih ingat kisah Nabi suci Muhammad saw membagi secawan kurma bagi 40 sahabatnya. Cawan itu diedarkan memutar dan sahabat dipersilakan mengambil kurma terlebih dahulu, sementara Nabi saw hanya mengambil sisanya. Ah, indah sekali pemimpin agung itu.
Bandingkan dengan pemimpin sekarang. Pemimpin jangankan peduli atas nasib rakyatnya, bahkan untuk menjumpai pun harus melewati beberapa pintu. Ada kalanya pada pintu kesekian, petugas berkata, “Maaf bapak sedang meeting”. Padahal sebelum pintu itu dikatakan bapak ada di ruangannya. Maka adakah kepedulian bagi rakyatnya apabila untuk bertemu pun susah?
Itu sebabnya ketika muncul pemimpin populis dari kalangan non politik, orang ramai mendekat. Orang sepertinya menaruh harapan kepada pemimpin populis itu. Harapan yang disandarkan agar ketika kelak ia menjadi pemimpin formal, karakternya tidak berubah meski telah memiliki mainan baru yang bernama APBD atau APBN.
Bagaimanakah dengan pemimpin yang ada di sekitar kita? Di dekat kita? Apakah ia hanya pandai berjanji dan pandai berhianat? Ataukah ia tetap populis dan memihak kepada kepentingan rakyat? Lalu bagaimana pula realisasi atas janji politik yang telah disampaikannya pada saat kampanye pilkada beberapa tahun lalu? Tergolong jarkoni kah atau terjebak sebagai bagian dari "papah minta saham?".
Dalam skala daerah yang biasa berlangsung adalah "papah minta proyek" yang biasa dilakukan oleh anggota DPRD dan pejabat eksekutif. Seperti merekakah pemimpin yang bakal melakukan perubahan?***
(rr/DK)